Rabu, 12 Oktober 2011

makalah PORNOGRAFI


BAB I
PENDAHULUAN


Bangsa Indonesia sejak lama di kenal sebagai Bangsa yang memiliki Adat Istiadat yang serba sopan dan moral yang sopan. Walaupun demikian ternyata budaya atau kepribadian Indonesia semakin lama mengalami kemerosotan. Aksi – aksi yang menunjukkan hal – hal yang serba vulgar atau sering disebut porno akhir – akhir ini telah menyeber ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Banyak kasus yang termasuk porno aksi dan pornografi. Misalnya goyangan ratu Inul Daratista dan majalah Play Boy yang sedang marak dibicarakan. Hal – hal diatas dikhawatirkan akan menimbulkan tindak kriminal atau pelecehan seksual.
Sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap bahwa porno aksi dan pornografi sangat bertentangan dengan kepribadian bangsa. Namun, pada hakekatnya trend mode masa kini telah menunjukkan pornoaksi. 

Pornografi bukanlah merupakan permasalahan yang baru. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat sekarang ini tidak bisa dipungkiri bahwa setiap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak hanya menimbulkan dampak positif saja namun juga menimbulkan dampak negatif yang mengarah kepada meningkatnya tindak pidana atau kriminalitas, terutama tindak pidana pomografi. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya internet yang menyajikan situs-situs porno, merebaknya produksi VCD pomo, juga media massa dan media elektronik yang sering memuat berita, cerita, dan gambar-gambar yang dapat menimbulkan gairah bagi orang yang melihatnya.



BAB II
PORNOGRAFI


Pengertian Pornografi
Menurut Undang-undang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi yang dimaksud dengan Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Tujuan diadakannya undang-undang ini adalah:
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;
c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan
e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.


Lingkup pornografi
Lingkup pornografi yaitu:
·         Memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
·         menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
·         meminjamkan atau mengunduh pornografi poin di atas. 
·         memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi , kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
·         mendanai atau memfasilitasi perbuatan produk pornografi. 
·         menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
·         mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
·         mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Untuk melakukan pencegahan itu, Pemerintah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.


Pemerintah Daerah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.
Kasus-kasus Pornografi
Seorang perempuan asal Karanganyar Jawa Tengah, sebut saja D.  Ia dilarang orang tuanya menikah dengan P. Suatu saat, P mengajak D melakukan hubungan seksual. Adegan tersebut atas kesepakatan D dan P. Hasil rekaman diserahkan pada orang tua D dengan maksud agar orang tua D menyetujui pernikahan mereka. Belakangan diketahui, P ternyata menggandakan video pada sebuah rental dan menyebarkan kepada teman-temannya. Kabar beredarnya video diketahui Polsek Colomadu Karanganyar. Seketika D ditangkap dan ditahan.
Pada persidangan, majelis hakim tidak kesulitan untuk mendefinisikan pornografi dalam kasus tersebut, dimana di dalamnya terdapat unsur menunjukkan alat kelamin dan hubungan seksual. Dalam prosesnya, D, P dan rental yang menggandakan rekaman video diproses secara terpisah. Majelis hakim berpendapat D adalah korban. Karenanya memutuskan D dihukum lima bulan, lebih ringan daripada hukuman P dan pihak rental yang masing-masing dihukum satu tahun dan satu tahun enam bulan pidana penjara.
Pada kasus lain di Bandung, empat orang perempuan korban trafficking dipaksa melakukan tarian dan goyangan di depan umum. Hal itu dilakukan agar penonton memberikan tip untuk diserahkan kepada penyelenggara. Keempat penari tersebut ditangkap dan ditahan karena dianggap melanggar UU Pornografi.
Mari kita analisa dua kasus di atas dengan menggunakan aturan hukum yang ada di Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi disebutkan, pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukkan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
UU Pornografi menggunakan KUHAP sebagai hukum acara sejak penyidikan hingga pemeriksaan di depan persidangan. Penggunaan KUHAP  dalam kasus ini mengakibatkan baik D maupun keempat penari dianggap sebagai pelaku pornografi seperti tercantum dalam Pasal 8 dan Pasal 34 UU Pornografi. Akibatnya tidak ada perlakuan khusus bagi para penari dan D yang sebetulnya adalah korban kekerasan terhadap perempuan.
Pasal 8 UU Pornografi  dalam penjelasan menegaskan model/objek pornografi yang mengalami pemaksaan, ancaman kekerasan, tipu muslihat tidak dipidana. Namun, penggunaan KUHAP telah menghalangi para penari dan D mendapatkan haknya atas perlakuan khusus dan keadilan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28H ayat (2)  dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
Para penari yang seharusnya diperlakukan sebagai korban trafficking justru menjadi terhukum dalam kasus pornografi sehingga hak konstitusional untuk tidak mendapatkan diskriminasi sebagaimana ditegaskan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menjadi terlanggar. Demikian juga dengan D, yang sama sekali tidak memiliki tujuan untuk menyuburkan industri pornografi sebagaimana menjadi target UU Pornografi.
Dalam kedua kasus, korban tidak mendapatkan pendampingan dan bantuan hukum. Hal ini mempengaruhi korban dalam memberikan keterangan baik sebagai saksi maupun korban. Ketiadaan pendamping dan bantuan hukum yang tidak diatur dalam UU Pornografi sesungguhnya mengurangi hak korban mendapat pengecualian untuk tidak dipidana.


BAB III
PENUTUP


Upaya penanggulangan tindak pidana pornografi yang dilakukan dengan dua upaya yaitu upaya preventif dan upaya represif. Upaya preventif yaitu upaya penanggulangan yang dilakukan sebelum terjadinya masalah, yang dilaksanakan oleh Kepolisian dan pengadilan. Upaya represif yaitu upaya yang dilakukan setelah terjadinya masalah yang pelaksanaanya dilakukan pengadilan negeri. Kendala-kendala dalam menanggulangi tindak pidana pornografi ini seperti kurangnya kesadaran dari masyarakat itu sendiri, kurangnya pendidikan agama, faktor mental, faktor sosial serta tidak jelasnya batasan menginai pornografi tersebut. Untuk itu diharapkan kepada masyarakat untuk lebih memahami apu itu pornografri agar tindakan tersebut tidak lagi terulang lagi dan merugikan diri sendiri.



1 komentar: