Rabu, 12 Oktober 2011

KEJAHATAN TERORISME


BAB I
PENDAHULUAN

Terorisme telah menjadi keprihatinan bagi Indonesia dan juga masyarakat internasional. Terorisme  merupakan ancaman serius bukan hanya terhadap perdamaian dan keamanan internasional, namun juga berdampak kepada perkembangan sosial dan ekonomi negara-negara di berbagai kawasan. Selain itu, tindakan terorisme dipandang sebagai kejahatan kriminal luar biasa dan pelanggaran berat terhadap HAM dan kebebasan mendasar manusia, serta dapat menimpa siapa saja tanpa memandang usia, jenis kelamin, ras dan agama. Indonesia secara konsisten mengutuk keras segala bentuk tindakan terorisme dengan motivasi dan manifestasi apapun.

Selama dasawarsa terakhir ini, Indonesia dan masyarakat internasional telah mengalami beberapa kali serangan aksi terorisme. Jaringan dan operasi teroris dan kelompok teroris merupakan masalah yang kompleks dan memiliki dinamika lintas negara, sehingga upaya pencegahan dan pemberantasannya memerlukan kerjasama oleh semua negara. Dalam hal ini diplomasi dan dialog tingkat multilateral sangat penting untuk dilakukan, termasuk melalui peningkatan kerjasama multilateral. 
makalah riyan hidayat
 


Indonesia memiliki komitmen kuat dalam mencegah dan memberantas terorisme. Peningkatan kerjasama internasional terus dilakukan Indonesia dalam rangka pencegahan dan pemberantasan terorisme, baik dalam kerangka multilateral (PBB) maupun regional, serta bilateral, khususnya dalam bentuk peningkatan kapasitas, penegakan hukum,  perbaikan legislasi/kerangka hukum, pertukaran informasi dan berbagi pengalaman, pengiriman pakar dan pemberian advis kepakaran, dan kerjasama teknis lainnya. Pemri juga melakukan langkah pencegahan dan pemberantasan terorisme melalui pendekatan/strategi “soft power”, termasuk melalui upaya kerjasama untuk mengatasi underlying causes of terrorisme. Kementerian Luar Negeri telah melaksanakan berbagai inisiatif untuk mendorong interfaith dialogue yang bertujuan membangun saling pengertian dan hubungan yang harmonis antar umat beragama dan kepercayaan dari berbagai negara.




BAB II
KEJAHATAN TERORISME


Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
makalah riyan hidayat
 

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.
Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.
 makalah riyan hidayat
Faktor Terjadinya Aksi Terorisme
Berikut ini enam faktor yang dapat menyulut dan memunculkan aksi terorisme-radikalisme.
I. Faktor Pemikiran
Merebaknya dua trend paham yang ada dalam masyarakat Islam, yang pertama menganggap bahwa agama merupakan penyebab kemunduran ummat Islam. Sehingga jika ummat ingin unggul dalam mengejar ketertinggalannya maka ia harus melepaskan baju agama yang ia miliki saat ini. Pemikiran ini merupakan produk sekularisme yang secara pilosofi anti terhadap agama.
Sedang pemikiran yang kedua adalah mereflesikan penentangannya terhadap alam relaitas yang dianggapnya sudah tidak dapat ditolerir lagi, dunia saat ini dipandanganya tidak lagi akan mendatangkan keberkahan dari Allah Swt, penuh dengan kenistaan, sehingga satu-satunya jalan selamat hanyalah kembali kepada agama. Namun jalan menuju kepada agama itu dilakukan dengan cara-cara yang sempit, keras, kaku dan memusuhi segala hal yang berbau modernitas. Pemikiran ini merupakan anak kandung dari pada paham fundamentalisme.

Kedua corak pemikiran inilah yang jika tumbuh subur dimasyarakat akan melahirkan tindakan-tindakan yang kontra produktif bagi bangsa bahkan agama yang dianutnya. Kedua trend pemikiran yang satunya menolak agama dan yang kedua mengajak kepada paham agama yang keras, justru akan melahirkan reaksi yang bertentangan dengan misi diciptakannya manusia oleh Allah Swt di semesta ini sebagai mahluk yang seharusnya mendatangkan kemakmuran dunia.

Di samping itu, banyaknya sekelompok orang yang lebih memilih memperdalami agama, namun tidak berdasarkan sumber yang otentik, ataupun ulama yang benar-benar memiliki pemahaman agama yang luas dan benar (rusukh). Terkadang sumber bacaannya adalah buku-buku terjemahan yang kurang dapat dipertangungjawabkan, menerima ilmu dari orang yang pemahaman agamanya sangat dangkal. Ahli kimia berbicara al-Qur’an, ahli kedokteran berbicara tafsir, ahli teknik bom berbicara fiqh jihad. Apa jadinya kesimpulan yang mereka keluarkan. Padahal al-Quran, tafsir, dan fiqh jihad memiliki karakteristik dan syarat-syarat yang sangat teliti dan khusus dan harus tepat sesuai fungsi dan kegunaannya. Hal itu sama saja, dengan apa jadinya jika seorang ahli agama berbicara kedokteran, berbicara pertanian, teknik mesin dan lain-lain.

Maka memahami sesuatu ilmu termasuk agama harus berdasarkan dari sumber dan ahlinya yang otentik, jika tidak penyelewengan-penyelewengan kesimpulan yang dijelmakan melalui aksi akan berakibat fatal bagi manusia itu sendiri.

II. Faktor Ekonomi
William Nock pengarang buku “Perwajahan Dunia Baru” mengatakan: Terorisme yang belakangan ini marak muncul merupakan reaksi dari kesenjangan ekonomi yang terjadi di dunia”. Liberalisme ekonomi yang mengakibatkan perputaran modal hanya bergulir dan dirasakan bagi yang kaya saja, mengakibatkan jurang yang sangat tajam kepada yang miskin. Jika pola ekonomi seperti itu terus berlangsung pada tingkat global, maka yang terjadi reaksinya adalah terorisme internasional. Namun jika pola ekonomi seperti ini diterapkan pada tingkat Negara tertentu, maka akan memicu tindakan terorisme nasional. Karena boleh jadi problem kemiskinan, pengangguran dan keterjepitan ekonomi dapat mengubah pola pikir seseorang dari yang sebelumnya baik, menjadi orang yang sangat kejam dan dapat melakukan apa saja, termasuk melakukan terror.
makalah riyan hidayat

Sagat tepat jika kita renungkan hadits nabi yang mengatakan, “Kaada al-Faqru an yakuuna Kufran”. Hampir-hampir saja suatu kefakiran dapat meyeret orangnya kepda tindakan kekufuran”. Bukankan tindakan membunuh, melukai, meledakkan diri, meneror suatu tindakan yang dekat dengan kekufuran.?


III. Faktor Politik:
Stabilitas politik yang diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan bagi rakyat adalah cita-cita semua Negara. Kehadiran para pemimpin yang adil, berpihak pada rakyat, tidak semata hobi bertengkar dan menjamin kebebasan dan hak-hak rakyat, tentu akan melahirkan kebanggaan dari ada anak negeri untuk selalu membela dan memperjuangkan negaranya. Mereka akan sayang dan menjaga kehormatan negaranya baik dari dalam maupun dar luar.

Namun sebaliknya jika politik yang dijalankan adalah politik kotor, politik yang hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik pembodohan rakyat, maka kondisi ini lambat laun akan melahirkan tindakan skeptis masyarakat. Akan mudah muncul kelompok-kelompok atas nama yang berbeda baik politik, agama ataupun sosial yang mudah saling menghancurkan satu sama lainnya.

Bukankan kita pernah membaca sejarah lahirnya garakan khawarij pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib RA. yang merupakan mascot gerakan terorisme masa lalu yang juga disebabkan oleh munculnya stigma ketidakstabilan dan ketidakadilan politik pada waktu itu. Sehingga munculah kelompok-kelompok yang saling mengklaim paling benar, bahkan saling mengkafirkan satu sama lainnya. Tentu kita tidak ingin sejarah itu terulang kembali saat ini.

IV. Faktor Sosial
Diantara faktor munculnya pemahaman yang menyimpang adalah adanya kondisi konflik yang sering terjadi di dalam masyarakat. Banyaknya perkara-perkara yang menyedot perhatian massa yang berhujung pada tindakan-tindakan anarkis, pada akhirnya melahirkan antipati sekelompok orang untuk bersikap bercerai dengan masyarakat. Pada awalnya sikap berpisah dengan masyarakat ini diniatkan untuk menghindari kekacauan yang terjai. Namun lama kelamaan sikap ini berubah menjadi sikap antipati dan memusuhi masyarakat itu sendiri. Jika sekolompok orang ini berkumpul menjadi satu atau sengaja dikumpulkan, maka akan sangat mudah dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Dalam gerakan agama sempalan, biasanya mereka lebih memilih menjadikan pandangan tokoh atau ulama yang keras dan kritis terhadap pemerintah. Karena mereka beranggapan, kelompok ulama yang memiliki pandangan moderat telah terkooptasi dan bersekongkol dengan penguasa. Sehingga ajaran Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin itu tidak mereka ambil bahkan dijauhkan dan mereka lebih memilih pemahaman yang keras dari ulama yang yang kritis tersebut. Dari sinilah lalu, maka pemikiran garis keras Islam sesungguhnya sangat kecil, dan tidak mencerminkan wajah Islam yang sebenarnya. Namun gerakan dan tindakannya yang nekat dan tidak terkontrol, menjadikan wajah Islam yang moderat dan mayoriats itu seolah tertutup dan hilang.
Maka tugas kita adalah mengembalikan fungsi ulama sebagai pengawal masyarakat dari penyimpangan-penyimpangan pemahanan dan akidah, serta mengembalikan lagi kepercayaan ummat yang putus asa dengan kondisi sosial yang ada, untuk tidak lebih tergelincir jauh kepada kelompok yang cenderung menghalalkan segala cara untuk melakukan proses perubahan sosial yang berlandaskan pada ajaran agama. Dalam hal ini kelompok moderat Islam harus lebih disuport dan dibantu, ketimbang energi kita hanya dikuras untuk menghabisi kelompok-kelompok radikal saja.
makalah riyan hidayat

V. Faktor Psikologis:
Faktor ini sangat terkait dengan pengalaman hidup individual seseorang. Pengalamannya dengan kepahitan hidupnya, linkungannya, kegaggalan dalam karir dan kerjanya, dapat saja mendorong sesorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan anarkis. Perasaan yang menggunung akibat kegagalan hidup yang dideranya, mengakibatkan perasaan diri terisolasi dari masyarakat. Jika hal ini terus berlangsung tanpa adanya pembinaan dan bimbingan yang tepat. Orang tersebut akan melakukan perbuatan yang mengejutkan sebagai reaksi untuk sekedar menampakkan eksistensi dirinya.

Dr. Abdurrahman al-Mathrudi pernah menulis, bahwa sebagian besar orang yang bergabung kepada kelompok garis keras adalah mereka yang secara pribadi mengalami kegagalan dalam hidup dan pendidikannya. Mereka inilah yang harus kita bina, dan kita perhatikan. Maka hendaknnya kita tidak selalu meremehkan mereka yang secara ekonomi dan nasib kurang beruntung. Sebab mereka ini sangat rentan dimanfaatkan dan dibrain washing oleh kelompok yang memiliki target terorisme tertentu.

VI. Faktor Pendidikan:
Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. Pendidikan agama khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesantunan, keramahan, membenci pengrusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan kita yang salah. Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan kurikulum-kurikulum umum, sememtara sekolah umum alergi memasukan kurikulum agama.

Dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter, insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras dan memiliki pemahaman agama yang serabutan.
makalah riyan hidayat

Penanggulangan Kejahatan Terorisme
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena:
  1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
  2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
  3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
  4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ''(lex specialis derogat lex generalis)''. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria:
  1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
  2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti:
  1. Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP.
  2. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya.
  3. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.
makalah riyan hidayat
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa dapat terlihat bahwa Terorisme timbul dengan dilatar belakangi berbagai sebab dan motif. Naun patut kita sadari bahwa terorisme bukan merupakan ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama . Terorisme merupakan strategi , instrumen dan atau alat mencapai tujuan.
Penerapan UU anti terorisme di dalam No 15 Tahun 2003 sangat berpotensi mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi para tersangka terorisme dan tidak memberikan efektifitas untuk mengurangi orang untuk bertindak sebagai teroris. Wewenang yang terlalu luas bagi aparat untuk memberantas terorisme tanpa disertai tanggungjawab dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan suatu terorisme baru yang dilakukan terhadap negara terhadap warga negaranya atau State Terorism. Hal inilah yang ditakutkan oleh para ahli hukum pidana. Untuk itu pemerintah perlu memikirkan pendekatan yang tidak legalis represif terhadap terorisme salah satunya antara lain memikirkan kemungkinan rekonsialisasi dan terbukanya komunikasi intensif antara pemerintah-masyarakat dan unsur-unsur di dalam masyarakat itu sendiri.
Patut disadari bahwa terorisme merupakan rangkaian tindakan yang kompleks, maka pada dasarnya pengaturan anti terorisme tidak akan memadai jika hanya dilakukandalam satu undang-undang. Selain itu sudah sepatutnya aparat penegak hukum mengefektifkan ketentuan hukum yang sudah ada dan terpancar dalam berbagai undang-undang, dengan cara mengintegrasikan kedalam kerangka hukum yang komprehensif. Revisi UU anti terorisme harus sesuai dengan kerangka hukum yang harus mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan pengawasan perbatasan, keamanan transportasi, bea cukai, keimigrasian, money loundring, basis rekruitmen dan pelatihan ( milisi atau pelatihan militer illegal ), keuangan, bahan peledak, bahan kimia dan persenjataan serta perlindungan terhadap masyarakat sipil. Serta mewajibkan setiap prosedur dan tindakan hukum dilakukan secara nondiskriminatif , melindungi dan menghormati HAM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar