Kamis, 27 Oktober 2011

makalah hukum lingkungan


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

makalah riyan hidayatLingkungan Hidup di Indonesia menyangkut tanah, air, dan udara dalam wilayah negara Republik Indonesia. Semua media lingkungan hidup tersebut merupakan wadah tempat kita tinggal, hidup serta bernafas. Media lingkungan hidup yang sehat, akan melahirkan generasi manusia Indonesia saat ini serta generasi akan datang yang sehat dan dinamis.
Pembangunan industri, eksploitasi hutan serta sibuk dan padatnya arus lalu lintas akibat pembangunan yang terus berkembang, memberikan dampak samping. Dampak samping tersebut berakibat pada tanah yang kita tinggali, air yang kita gunakan untuk kebutuhan hidup maupun udara yang kita hirup. Apabila tanah, air dan udara tersebut pada akhirnya tidak dapat lagi menyediakan suatu iklim atau keadaan yang layak untuk kita gunakan, maka pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup telah terjadi.

makalah riyan hidayatPencemaran lingkungan hidup, bukan hanya akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat yang ada sekarang namun juga akan mengancam kelangsungan hidup anak cucu kita kelak. Oleh karena itu baik masyarakat, maupun pemerintah berhak dan wajib untuk melindungi lingkungan hidup. Masyarakat diharapkan secara aktif dapat berperan serta aktif dalam pelestrian lingkungan sedangkan pemerintah berupaya dengan memberikan perlindungan bagi lingkungan hidup negaranya dan masyarakat yang tinggal dalam lingkungan hidup negaranya melalui berbagai peraturan perundang-undangan.

UU Lingkungan Hidup No. 23 tahun 1997 adalah suatu produk pemerintah untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup sekaligus memberi perlindungan hukum bagi masyarakat agar selalu dapat terus hidup dalam lingkungan hidup yang sehat.

Upaya pemulihan lingkungan hidup dapat dipenuhi dalam kerangka penanganan sengketa lingkungan melalui penegakkan hukum lingkungan, dan dalm penegakan hokum lingkungan ada istilah tanggung jawab mutlak atau strict liability bagi pelaku pencemaran lingkungan dengan ketentuan tertentu.

B. Identifikasi Masalah

Bagaimana pelaksanaan prinsip tanggung jawab mutlak strict liability?
























BAB II
PERMASALAHAN
Pencemaran Sungai Balangan yang diakibatkan masuknya limbah perusahaan tambang PT. Adaro, tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang cukup hanya dengan himbauan dan permintaan dari pihak pemerintah daerah untuk menanggulangi dan memberikan kompensasi kepada masyarakat yang mengalami kerugian karena terkena dampak. Karena, memasukkan pencemar ke lingkungan hidup adalah termasuk tindak kejahatan lingkungan.
Permintaan Gubernurmakalah riyan hidayat Rudy Ariffin kepada PT. Adaro untuk melakukan rehabilitasi dan bertanggungjawab atas Pencemaran Sungai Balangan terkesan terlalu lunak dan menganggap masalah pencemran ini sebagai hal yang biasa. Hal ini dipertegas dengan permintaan Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Kalsel Rachmadi Kurdi kepada PT. Adaro untuk membuat komitmen penanggulangan pencemran tersebut (Media Kalimantan, 11 November 2009: A8). Komitmen yang diminta antara lain, kesanggupan pihak perusahaan melakukan penanggulangan dari kerusakan yang timbul dan membenahi sistem pengendalian limbah agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Pemerintah daerah terhadap PT. Adaro seakan tidak mempunyai daya tawar terhadap perusahaan besar ini yang melakukan pencemran. Padahal, jika mau melihat undang-undang (UU) No. 32/2009 tentang PPLH mempunyai kewenangan yang sangat besar untuk menjaga dan menentukan kualitas lingkungan hidup di daerahnya. Apalagi pihak perusahaan sudah mengakui terjadinya pencemran sungai yang disebabkan limbah perusahaan yang tidak terkendali karena turun hujan tak terduga.
Perusahaan sebesar PT. Adaro, dengan produksi tambang bisa mencapai 55 juta metrik ton per tahun (saat ini produksinya sekitar 45 juta metrik ton pertahun dengan harga terendah sekitar 42 dolar per ton), ternyata masih abai dan lalai dalam pengelolaan limbah perusahaan. Pengelolaan limbah yang sesuai dengan kapasitas produksi, tentu sudah dapat diperhitungkan, kecuali perusahaan ini dikelola dengan manajemen tradisional, yang tidak berdasarkan pada standar pengelolaan limbah yang ada dalam dokumen Amdal. Mengatakan perusahaan tidak mempunyai tenaga ahli dalam pengelolaan limbah, tentu sangat merendahkan perusahaan sebesar PT. Adaro.
Dalam hal pengelolaan limbah tambang oleh PT. Adaro, di masyarakat ada kecurigaan yang berkembang, bahwa perusahaan membuang limbah tambang saat hujan turun. Hal ini perlu dibuktikan dan dilakukan penyelidikan, karena bila melihat pencemaran yang terjadi akibat kelalaian pihak perusahaan sehingga menyebabkan rembesan (atau jebolnya komakalah riyan hidayatlam pengendapan) limbah masuk langsung sungai saat hujan turun, seakan ingin menunjukkan apa yang selama ini sudah dicurigai masyarakat tersebut.
Jadi, pemerintah tidak hanya meminta kepada pihak perusahaan, seakan tidak mengerti peraturan perundangan yang berlaku bila perusahaan melakukan pencemran lingkungan. Pemerintah harus bertindak tegas, dalam hal pencemaran sungai Balangan, sudah seharusnya Amdal perusahaan tersebut ditinjau kembali karena pihak perusahaan tidak mempunyai kesanggupan dalam pengelolaan limbahnya. Setidaknya dapat dilihat kesesuai antara studi Amdal dengan keadaan sekarang, yang mungkin saja karena peningkatan produksi yang selalu berbanding lurus dengan produksi limbahnya. Atau, jangan-jangan pihak perusahaan tidak mau mengeluarkan biaya yang sesuai untuk pengelolaan limbahnya, sehingga dengan langsung membuang ke sungai dapat mengurangi biaya pengelolaan limbah.
Dalam kasus pencemaran sungai Balangan ini, terlihat bagaimana sikap pemerintah daerah terhadap perusahaan yang melakukan pencemaran, lebih cenderung diselesaikan pada batas perusahaan bersedia memberikan kompensasi kerugian yang diderita masyarakat. Dalam hal ganti rugi terhadap kerugian warga masyarakat akibat pencemaran lingkungan hidup merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak perusahaan (Pasal 87, (1) UU No.32/2009), yang bila ini dilaksanakan dianggap masalah pencemran selesai.
Oleh karena itu, pemerintah daerah harus melakukan tindakan yang tegas terhadap pencemaran sungai Balangan karena ini merupakan tindakan kejahatan lingkungan. Dalam hal ini, pemerintah daerah juga bisa dijerat hukum karena tidak melakukan pengawasan yang semestinya. pencemran sungai Balangan, yang tidak hanya sebatas wilayah kabupaten Balangan, tetapi lebih jauh sebagai sebuah daerah aliran sungai (DAS) Balangan, tentu mempunyai dampak yang luas, penting dan besar terhadap kerusakan lingkungan hidup.
Tentu pemerintah daerah tidak hanya meminta ataupun mengharapkan komitmen dari pihak perusahaan, tetapi bagaimana pemerintah daerah berdiri tegak dengan mengacu pada peraturan dan perundangan yang berlaku, yang terdekat dengan UU No.32/2009. Jangan sampai pencemran sungai Balangan oleh PT. Adaro menegaskan bahwa sumberdaya alam menjadi kutukan bagi masyarakat di wilayah perusahaan tersebut beroperasi, karena pihak perusahaan menikmati produksi bisa mencapai 55 juta metrik ton per tahun sedangkan masyarakat daerah hanya mendapatkan bencana dan kerusakan lingkungannya.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Penegakan Hukum Lingkungan
Pembangunan disamping memberikan dampak positif berupa kesejahteraan, namun disisi yang lain juga menimbulkan dampak negatif yaitu terjadinya kerusakan atau tercemarnya lingkungan hidup. Gagasan hukum pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup menjadi kata kunci (key word) dalam pengelolaan lingkungan hidup yang mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, apabila terjadi penurunan fungsi lingkungan hidup akibat perusakan dan/atau pencemaran lingkugan hidup, maka serangkain kegiatan penegakan hukum (law enforcement) harus dilakukan, dengan tujuan tidak hanya sekedar menjatuhkan sanksi kepada perusak atau pencemar lingkungan, tetapi tujuan yang paling pokoknya dalah untuk memulihkankemampuan lingkungan hidup tersebut dan berupaya meningkat-kan kuaitasnya.
Upaya pemulihan lingkungan hidup dapat dipenuhi dalam kerangka penanganan sengketa lingkungan melalui penegakkan hukum lingkungan. Penegakan hukum lingkungan merupakan bagian dari siklus pengaturan (regulatory chain) perencanaan kebijakan (policy planning) tentang lingkungan. Penegakan hukum lingkungan di Indonesia mencakup penataan dan penindakan (compliance and enforcement) yang meliputi bidang hukum administrasi negara, bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana.

1. Penegakkan hukum lingkungan administratif, dimulai dengan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh MENLH/pejabat yang ditunjuk MENLH, atau oleh Kepala Daerah/pejabat yang ditunjuk Kepala Daerah terhadap penaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup seperti persyaratan izin, BML dll, sebagaimana hal ini diatur dalam Pasal 22-24 UUPLH. Ada beberapa sanksi administrasi dalam Pasal 25-27 UUPLH yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha dan/atau kegiatan. Pertama, paksaan pemerintahan (bestuursdwang) untuk mencegah dan mengakiri terjadinya pelanggaran, atas beban biaya penanggungjawab usaha dan atau kegiatan yang wewenangnya ada pada Gubernur atau Bupati/Walikota. Kedua, terhadap pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan.

2. Penyelesaian secara perdata atas gugatan ganti kerugian dan pemulihan lingkungan hidup, dapat ditempuh melalui mekanisme ADR/diluar pengadilan) maupun di dalam pengadilan (Pasal 30 UUPLH) oleh masyarakat secara perorangan atau melalui gugatan perwakilan (class action), dan NGO serta instansi pemerintah yang bertanggungjawab dibidang pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 34, 35, 37 dan 38 UUPLH) untuk mewakili kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup atas ganti kerugian dan pemulihan lingkungan hidup. Terdapat perbedaan mendasar antara penyelesaian secara perdata yang terdapat dalam Pasal 34 dan 35 UUPLH. Pasal 34 ayat (1) UULH-97 menentukan dua kategori perbuatan melanggar hukum yaitu pencemaran lingkungan hidup (dalam arti turunnya kualitas lingkungan hidup: lihat Pasal 1 angka 12 UUPLH) dan perusakan lingkungan hidup (dalam arti lingkungan hidup tidak berfungsi lagi: lihat Pasal 1 angka 14 UUPLH), yang dapat menjadi alasan hukum untuk menuntut ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu (memulihkan fungsi lingkungan hidup) kepada penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan.

3. UUPLH menempatkan penerapan sanksi pidana sebagai upaya yang terakhir (ultimum remedium). Dalam penjelasan umum UUPLH terkandung suatu prinsip yang dikenal yaitu primary jurisdiction atau disebut sebagai asas subsidiaritas. Asas ini menegaskan bahwa hukum pidana baru dapat digunakan apabila: a) sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan tidak efektif; b) tingkat kesalahan pelaku relatif berat; dan c) menimbulkan keresahan masyarakat. Hal ini berarti bahwa sarana hukum lain harus dioptimalkan terlebih dahulu, sebelum diambil tindakan secara pidana atau diterapkannya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 40-47 UUPLH.
3.2 Pelaksanaan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Strict Liability

Apapun sarana hukum yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa lingkungan, yang penting ada dua hal yang perlu untuk dibuktikan. Pertama, adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dalam arti hukum (dalam hal ini perlu dilakukan pengujian limbah terhadap ketentuan BML apakah masih berada dalam batas-batas BML/tidak). Kedua, adanya hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dengan penderitaan masyarakat dan/ atau rusaknya kualitas lingkungan hidup.

Membuktikan kedua hal tersebut tidaklah mudah. Diperlukan keterangan ahli dari berbagai disipilin ilmu (lingkungan, biologi, kimia, medis, ekonomi, hukum dll), sampel hukum dan laboratorium hukum. Keterlibatan para ahli akan sangat membantu untuk proses pembuktian ilmiah (scientific evidence) dan untuk menghitung kerugian masyarakat dan tingkat kerusakan/pencemaran lingkungan hidup, sehingga dapat ditentukan berapa biaya yang harus ditanggung oleh penanggungjawab usaha/kegiatan untuk mengganti kerugian masyarakat dan untuk memulihkan lingkungan hidup.

Pasal 34 tidak menunjuk kepada sistem pertanggungjawaban tertentu, maka untuk itu kandungan Pasal 34 ini dapat dikaitkan dengan Pasal 1365 BW sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatan melanggar hukum (onrechtsmatigedaad). Pasal 1365 BW ini menganut prinsip tanggungjawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault), tanpa adanya kesalahan, maka tidak akan timbul dasar untuk menuntut kerugian (NHT.Siahaan:2004:310-311).

Beban pembuktian untuk membuktikan adanya unsur kesalahan tersebut menurut Pasal 1865 BW merupakan kewajiban penggugat. Membuktikan adanya kesalahan tidaklah mudah, bahkan lebih menyulitkan karena harus lebih dahulu dibuktikan adanya hubungan sebab akibat (causality) antara perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dengan kerugian dari si penderita.

Dibutuhkan penjelasan yang bersifat ilmiah, teknis dan khusus untuk membuktikan hubungan kausal tersebut. Sehingga penerapan sistem pertanggungjawaban yang bersifat biasa tidaklah mencerminkan rasa keadilan. Kelemahan Pasal 34 tersebut, sebenarnya dapat diatasi dengan menerapkan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUPLH yang mengatur tentang tanggungjawab mutlak (strict liability) atas kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, menggunakan B3 dan/ atau menghasilkan limbah B3.

Berdasarkan Pasal 35 UUPLH tersebut, terdapat tiga kriteria bagi jenis kegiatan/usaha yang tunduk pada prinsip tanggungjawab mutlak, yaitu jenis kegiatan yang wajib Amdal, yang menggunakan B3 dan yang menghasilkan limbah B3 (Daud Silalahi:2001:45). Dalam penjelasan Pasal 35 ayat (1) dinyatakan bahwa tanggungjwab mutlak (strict liability) berarti unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian (liability without fault/tanggungjawab tanpa kesalahan) dan ketentuan pasal ini makalah riyan hidayatmerupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya didasarkan pada Pasal 1365 BW.

Hal ini berarti pihak tergugatlah yang harus membuktikan adanya hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dengan kerugian yang diderita oleh penggugat dan lingkungan hidup. Pasal 35 ayat (2) memberikan pengecualian penerapan prinsip tanggungjawab mutlak bilamana dapat dibuktikan bahwa pencemaran atau kerusakan lingkungan disebabkan oleh bencana alam atau peperangan; atau adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia; atau akibat tindakan pihak ketiga

Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan dengan kewajiban menbayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan hidup.penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang dapat dibebaskan dari kewajiban membayar gantirugi, jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan atau pencemaran lingkungan hidup disebabkan salahsatu alas an ialah adanya bencana alam atau peperangan, adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia, atau adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan hidup. Dalam hal terjadinya kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga maka pihak ketiga tersebut bertanggung jawab membayar gantirugi.

Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability yakni unsure kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran gantikerugian. Ketentuan ini merupakan lex spesialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hokum pada umumnya. Besarnya nilai gantirugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud sampai batas tertentu adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan atau egitan yangbersangkutanatau telah tersedian dana lingkungan hidup

Pencemaran lingkungan hidup yang diatur dalam pasal 1 ayat 12 UU no 23 tahun 1997 ( Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya ) mempunyai pengertian luas dan berusaha menjaring perbuatan-perbuatan yang merusak tatanan lingkungan. Peraturan penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup apabila akan diruangkan kedalam bentuk undang-undang cara pengaturannya harus mengandung makna preventive dan revresif. Secara filsafat bahwa pengelolaan lingkungan hidup itu supaya dapat dinikmati oleh manusia pada generasi masa kini dan masa depan, maka ketentuan perlindungan terhadap masalah lingkungan hidup termasuk pula mencakup perlindungan korban dari pencemaranatau perusakan lingkungan himakalah riyan hidayatdup.

Berdasarkan pasal 34 tentang ganti rugi, dan pasal 35 tentang tanggung jawab mutlak pada UU no 23 tahun 1997, mencakup dua segi perlindungan, yaitu:

1. Perlindungan korban yang diderita perorangan

2. Perlindungan terhadap Negara yang menjadi korban pencemaran atau pengrusakan lingkungan hidup.

Ganti rugi terhadap korban dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Gantirugi yang diberikan kepada korban yang dibayar oleh pihak yang menyelenggarakan usaha dan kegiatan lingkungan tersebut.

2. Ganti rugi yang diberikan kepada Negara dalam ujud melakukan tindakan hokum tertentu sesuai dengan perintah hokum yang ditetapkan oleh hakim.

Bentuk dan jenis kerugian akibat pengrusakan dan pencemaran akan menentukan besarnya kerugian dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh pemerintah. Masalah gantirugi dengan melalui penelitian yang menyangkut aspek budaya, tentunya dapat masuk dalam ruang lingkup ganti rugi menurut hokum adat setempat. Hal ini mendasari adanya putusan Mahkamah Agung RI tanggal 22 November1958 (Reg. No.212 K/S.i.p/1958) yang memutuskan ganti rugi menurut hokum adat (DPM.Sitompul, 1989:35)

“…bahwa menurut hukum adat di Jawa Timur setiap sebab yang menimbulkan kerugian …. Mewajibkan orang yang bersalah tentang timbulnya kerugian itu untuk membayar penggantian kerugian atau untuk memperbaiki kerugian itu”

Keputusan MA RI tanggal 22 November 1958 tersebut, hamper sama dengan teori Middendorff tentang hal-hal yang harus dipertimbangkan hakim dalam memutuskan suatu erkara. Middendorff memberikan teori sebagai berikut:

”… hakim harus mempertimbangkan pertama-tama kejahatan tersebut, kedua kepribadian si pelaku, ketiga daya guna dari pidana, dan keempat segi-segi yang menyangkut korban …”

Dengan adanya pertimbangan dari hakim tentang segi-segi yang menyangkut masalah korban, diharapkan ganti rugi dalam pasal 34 UU no 23 tahun 1997 daat melindungi korban dari pengrusakan atau pencemaran lingkungan hidup.

UU no 23 tahun 1997 Paragraf 1makalah riyan hidayat

Ganti Rugi

Pasal 34

1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.

2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut

UU no 23 tahun 1997 Paragraf 1

Tanggung Jawab Mutlak

Paragraf 2

Tanggung Jawab Mutlak

Pasal 35

1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:

a. adanya bencana alam atau peperangan; atau
b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau

c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.




BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict Liability) merupakan prinsip pertanggung jawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau tidak seperti biasanya.

Pertanggung jawaban hukum konvensional selama ini menganut asas pertanggung jawaban erdasarkan kesalahan (liability based on fault), artinya bahwa tidak seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan dokrin tersebut akan melahirkan kendala bagi penegakmakalah riyan hidayatan hokum dipengadilan karena dokrin ini tidak mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri modern yang mengandung resiko-resiko potensial.

Pertanggung jawaban mutlak pada awalnya berkembang dinegara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon atau common law, walaupun kemudian mengalami perubahan perkembangan dibeberapa negara untuk mengadopsinya.

Beberapa negara yang menganut asas ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda, Thailand. Di Indonesia asas ini dimuat dalam Pasal 35 UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal ini pengertian tanggungjawab mutlak/strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Dimana besarnya ganti kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.

4.2 SARAN
Pada dasarnya kehidupan ini selaras seimbang antara segala sesuatu yang ada didalamnya, yaitu makhluk hidup ada manusia, hewan dan tumbuhan, dan semua benda mati yang dapat dimanfaatkan dan mempunyai peran dalam kehidupan ini. Yang membuat lingkungan rusak dan tidak tertata lagi selain sang pencipta adalah masalah siapa yang menduduki dan menjadi pemimpin di atasn  kehidupan lingkungan ini tiada lain yakni manusia. Kalau lingkungan mau stabil berarti manusia harus bisa menata kembali tatanannya dengan cara mendidik individu-individu manusianya agar dapat mengelola lingkungannya. Lingkungan dan Kependudukan  bisa selaras apabila satu sama lain bisa seimbang.
Lingkungan akan menjadi bumerang bila, kita tidak bisa mengelolanya dengan baik. Apalagi kalau sudah terjadi bencana alam maka lingkungan akan mengancam keselamatan kita. Melestarikan lingkungan merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi dan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin negara saja, melainkan tanggung jawab setiap insan di bumi, dari balita sampai manula. Setiap orang harus melakukan usaha untuk menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar kita sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan sangat besar manfaatnya bagi terwujudnya bumi yang layak huni bagi generasi anak cucu kita kelak.
Upaya pemerintah untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur bagi rakyatnya tanpa harus menimbulkan kerusakan lingkungan ditindaklanjuti dengan menyusun program pembangunan berkelanjutan yang sering disebut sebagai pembangunan berwawasan lingkungan
Dalam kesempatan kali ini penyusun berharap dan memberikan saran  agar kita selaku makhluk yang mendiami lingkungan harus bisa menjaga keseimbangan dan keselarasan lingkungan sendiri tidak perlu disuruh dan diperintah. Mulailah dari sekarang, dari hal yang terkecil, mulai dari diri kita masing-masing.
Dan tuntutlah ilmu juga pendidikan lebih luas dan bijaksana agar tatanan kehidupan selaras seimbang antara satu hal dengan hal lain yang ada didalammakalah riyan hidayatnya, dengan begitu maka akan tercipta kehidupan yang aman, nyaman dan tentram terkendali




























DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang

1. Indonesia. Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No
23 Tahun 1997.

Buku
1. Sunarso, Siswanto, 2005. Hukum Pidana lingkungan Hidup Dan Strategi Penyelesaian Sengketa. Rineka Cipta. Jakarta

Website

1.http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/07/27/penegakkan-hukum-lingkungan-dan-pembangunan-berkelanjutan/

2. http://profsuhaidi.web.id/content/view/6/11/

3. http://riana.tblog.com/archive/2009/08/

4. http://srwahyuni.blogspot.com/2008/10/selamatkan-lingkungan.html

5. http://www.kejaksaan.go.id/uplimg/LINGKUNGAN%20HIDUP%20V.ppt




2 komentar:

  1. manfaf bos,, thanx infonya, mau kasih info juga ni jual furniture jepara harga murah kualitas mewah www.royalmebeljepara.com salam sukses

    BalasHapus
  2. Sama2,.smbil jualan jg y,. wwkkwkw

    BalasHapus