Kamis, 12 Januari 2012

PERANAN BANK INDONESIA DALAM MENGAWASI PERBANKAN DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

Bank adalah bagian dari system keuangan dan system pembayaran suatu Negara, bahkan pada era globalisasi sekarang ini, bank juga telah menjadi bagian dari system keuangan dan system pembayaran dunia. Mengingat hal yang demikian itu, maka begit suatu bank memperoleh izin berdiri dan beroperasi dari otoritas moneter Negara yang bersangkutan, bank tersebut menjadi milik masyarakat. Oleh karena itu, eksistensinya bukan saja harus dijaga oleh para pemilik bank itu sendiri, tetapi juga oleh masyarakat nasional dan global.[1]
Mengingat kegiatan perbankan bergerak dengan dana dari masyarakat atas dasar kepercayaan, maka setiap pelaku perbankan diharapkan tetpa menjaga kepercayaan masyarakat tersebut. Kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan akan terjaga apabila sector perbankan itu sendiri diselenggarakan dan dikelola dengan prinsip kehati-hatian sehingga selalu terpelihara kondisi kesehatannya. Sejalan dengan harapan-harapan tersebut, Bank Indonesia sebagi bank sentral yang mempunyai peran pula dalam menetukan dan memberikan arah perkembangan perbankan serta dapat melindungi masyarakat, maka Bank Indonesia mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan perbankan.[2] Di situlah letak peran pentingnya pengawasan bank, karena system perbankan memiliki fungsi dan peran yang penting dan strategis dalam emnggerak-tumbuhkan perekonomian.
Fungsi pengaturan dan pengawasan bank di tangan Bank Indonesia tidak pernah lepas dari sorotan masyarakat. Fungsi ini semakin krusial setelah pemerintah melalui Pakto 88 meliberalisasikan industri perbankan nasional dengan mempermudah syarat-syarat pendirian bank baru. Momemtum liberalisasi memang benar-benar dimanfaatkan pelaku dunia usaha, sehingga lahirnya bank-bank baru terjadi dengan sangat cepat. Sayangnya, liberalisasi perbankan ini tidak disetai dengan peningkatan supply tenaga banker yang berkualitas.[3]
Setelah melintasi kurun yang cukup panjang dan terus menerus berupaya memberi karya dan karsa bagi negeri, Bank Indonesia berupaya untuk menebarkan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang tentang Bank Indonesia, upaya tersebut ditempuh dengan menjaga kestabilan nilai mata uang Rupiah yang ditandai dengan tercapainya sasaran inflasi dan stabilnya nilai tukar.
Kestabilan nilai mata uang sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Nilai uang yang stabil dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan dunia usaha dalam melakukan berbagai aktivitas ekonominya. Lebih dari itu, inflasi yang terkendali dan rendah dapat mendukung terpeliharanya daya beli masyarakat, khususnya mereka yang berpendapatan tetap seperti pegawai negeri sipil dan masyarakat kecil lainnya. Untuk mewujudkan hal itu, Bank Indonesia memiliki kewenangan dalam melakukan tiga tugas yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank[4].


BAB II
PERANAN BANK INDONESIA
DALAM MENGAWASI PERBANKAN DI INDONESIA


Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan, mengeluarkan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan fungsi pengawasan, serta mengenakan sanksi terhadap bank. Fungsi pengawasan dilakukan melalui pemeriksaan berkala dan sewaktuwaktu, maupun dengan analisis laporan yang disampaikan oleh masing-masing bank.

Upaya Restrukturisasi Perbankan[5]
Untuk mengembalikan fungsi intermediasi perbankan, Bank Indonesia telah menetapkan berbagai langkah restrukturisasi yang menyeluruh dan terpadu. Program-program restrukturisasi tersebut mencakup program pemulihan kepercayaan masyarakat, rekapitalisasi, restrukturisasi kredit, penyempurnaan ketentuan perbankan, serta penyempurnaan fungsi pengawasan bank.
Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.


 
Pengawasan Bank[6]
Tugas pengaturan dan pengawasan bank merupakan salah satu tugas yang penting khususnya dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat yang pada akhirnya akan dapat mendorong terselenggaranya kebijakan moneter yang efektif. Hal ini mengingat bahwa lembaga perbankan selain menjalankan fungsi intermediasi, juga berfungsi sebagai transmisi kebijakan moneter, di samping perputaran dana yang dilakukan melalui sistem perbankan. Dengan demikian cukup beralasan apabila pengendalian moneter dan pengawasan bank dilakukan oleh lembaga yang sama, yaitu bank sentral.
Beberapa negara yang fungsi pengendalian moneter dan pengawasan perbankannya dilakukan oleh bank sentral adalah Belanda, Brasil, India, Malaysia, New Zealand, Philipina dan Singapura. Secara umum, alasan penyatuan kedua fungsi tersebut antara lain :
a.       Antara fungsi pengawasan bank dan pengendalian moneter memiliki sifat yang interdependent, sehingga kedua fungsi tersebut harus sejalan.
b.      Memudahkan bank sentral memantau dan menindaklanjuti dampak kebijakan moneter terhadap perbankan.
c.       Data dan informasi hasil pengawasan bank sangat diperlukan dalam mengambil keputusan dan melaksanakan kebijakan moneter, dan demikian pula sebaliknya.
Sementara itu, terdapat pula beberapa negara yang pengawasan banknya dilakukan oleh bank sentral bersama dengan lembaga lainnya. Beberapa negara yang menggunakan kebijakan tersebut antara lain Amerika Serikat, Finlandia dan Jerman. Di Amerika Serikat pemeriksaan bank dilakukan oleh Bank Sentral Amerika Serikat yaitu Federal Reserve System bekerja sama dengan Office of the Controller of the Currency, State Government dan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), dengan pembagian tugas pengawasan yang berbeda. Di Finlandia pengawasan bank selain dilakukan oleh bank sentral Finlandia yaitu Bank of Finland bekerja sama dengan The Bank Inspectorate. Hal yang sama dilakukan oleh bank sentral Jerman yaitu Bundesbank, melakukan pengawasan bank bersama Bundesaufsichtsamt fur das Kreditwesen.
Dalam pada itu, negara-negara lain seperti Australia, Belgia, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Swiss dan Perancis, fungsi pengawasan bank dipisahkan dari bank sentral. Alasan pemisahan tersebut antara lain adanya kekawatiran akan terjadinya pertentangan kepentingan (conflict of interest) antara tugas menjaga kestabilan moneter dan tugas pengawasan bank.
Tujuan pengaturan bank mengandung dua sisi yang terkadang tidak saling mendukung. Di satu sisi, pengaturan bertujuan memaksimalkan  efisiensi,  mendorong inovasi produk dan  meningkatkan kompetisi. Di sisi lain peraturan bertujuan agar bank menjaga tingkat kesehatan dan menciptakan stabilitas sistem perbankan. Kalau harus memilih maka menjaga sistem stabilitas perbankan yang harus dinomorsatukan. Peraturan yang diterbitkan dapat bersifat netral, insentif atau disinsentif terhadap  bagi operasional perbankan. Mewajibkan bank memelihara giro wajib minimum, memenuhi ratio kecukupan modal dan melaksanakan prinsip ketebukaan adalah ”pajak” yang harus dibayar bank. Sedangkan keberadaan  lembaga penjamin simpanan, fasilitas lender of last resort merupakan subsidi  pemerintah. Pengaturan juga dapat bersifat netral. Artinya peraturan yang diterbitkan tidak memberikan insentif atau disinsentif tetapi semata-mata untuk menjaga stabilitas atau ketertiban.
Apabila peraturan yang ingin diterbitkan tidak bersifat netral maka  regulator harus  menemukan titik keseimbangan antara besarnya ”pajak” yang harus dibayar dengan ”subsidi” yang ditanggung pemerintah. Bila pajak yang harus dibayar  terlalu besar maka tidak terjadi efisiensi dan inovasi. Sementara itu,  kalau subsidi yang terlalu besar maka ancaman terhadap stabilitas sistem perbankan meningkat. Untuk itu, independensi regulator merupakan keniscayaan, agar  mereka dapat menilai kondisi objektif industri perbankan sehingga misalnya,  tidak mengkompromikan tujuan jangka panjang dengan kepentingan jangka pendek.
Dalam kaitan ini, masalah  belum optimalnya industri perbankan melaksanakan fungsi intermediasi dapat didekati dengan pilihan bentuk pengaturan  yang  akan diterbitkan. Belum optimalnya fungsi intermediasi bank antara lain ditandai dengan  loan to deposit ratio yang secara rata-rata nasional berkisar 70an prosen. Angka ini dipandang belum memadai dan perbankan diminta agar mengoptimalkan pemberian kredit  untuk mendorong pertumbuhan ekonomi peningkatan lapangan kerja. Suku bunga kredit yang dikenakan bank terhadap debturnya juga belum mencerminkan rendahnya BI rate. Pertanyaannya adalah apakah diperlukan regulatory respons terhadap kondisi ini.
Secara formal BI dapat saja menerbitkan peraturan yang mewajibkan bank meningkatkan LDR menjadi 100 % dan atau memaksa bank menurunkan suku bunga kredit. Sebagai badan hukum publik BI berwenang memaksa bank mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan ancaman sanksi administaratif bagi bank yang melanggar. Secara bisnis,  apabila belum optimalnya fungsi intermediasi perbankan direspon dengan kebijakan pengaturan dikhwatirkan akan meningkatkan naiknya risiko kredit bermasalah.
Industri perbankan  sejak dulu dan akan terus menjadi objek regulasi dan supervisi. Pengaturan dan pengawasan penting bagi industri perbakan paling tidak karena dua alasan. Pertama, secara alamiah bisnis bank  adalah bisnis kepercayaan dan industri perbankan memiliki peran  kunci sebagai pendorong roda perekonomian. Kedua, bank  potensial terhadap tindakan kecurangan dan apabila terjadi kebangkrutan bank biaya sosial yang harus dibayar sangat mahal. Dengan kata lain alasan utama pengaturan dan pengawasan adalah agar keberadaan bank tidak boleh menimbulkan kerugian bagi  masyarakat, baik berupa ketidakmampuan mengembalikan uang nasabah penyimpan atau menjadi penyebab kekebangkrutan bank lain (contagion effect).



Wewenang BI[7]
Dalam kaitannya dengan tugas pengawasan bank ini, berdasarkan undang-undang, Bank Indonesia diberi wewenang mengatur dan mengawasi Bank dan meliputi kewenangan sebagai berikut :
a.       Memberikan dan mencabut ijin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank
b.      Menetapkan peraturan di bidang perbankan
c.       Melakukan pengawasan bank baik secara langsung maupun tidak langsung
d.      Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai ketentuan perundangan
Secara umum, dalam melaksanakan tugas-tugas dimaksud, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan berdasarkan prinsip kehati-hatian sesuai standar yang berlaku secara internasional melalui penetapan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan yang pada gilirannya dapat mewujudkan suatu sistem perbankan yang sehat.
Kewenangan publik yang dimiliki BI harus juga mempertimbangkan realitas bisnis yang dilakoni industri perbankan. Peraturan yang tidak netral atau memimbulkan disinsentif secara ekonomis pasti akan menghasilkan kondisi sub-optimum bagi bank. Pilihan bagi bank adalah mematuhi peraturan  atau melanggar peraturan tersebut. Apabila biaya untuk patuh  lebih besar dibandingkan hukuman yang harus dibayar, secara rasional bank akan memilih tidak mematuhi peraturan. Ketidak patuhan terhadap peraturan akan menurunkan kewibawaan penerbit peraturan. Kondisi ini bila berlanjut dapat berujung pada lemahnya kepatuhan terhadap hukum. Suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi kemajuan sistem perbankan karena lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.
Persoalan yang timbul harus dilihat akar masalahnya agar peraturan yang diterbitkan bersifat netral. Hukum yang benar adalah hukum yang tidak memihak. Keberpihakan hukum harus kepada kebenaran.

Tugas BI
Sementara itu, agar pelaksanaan pengawasan dan pengaturan perbankan tersebut dapat berjalan efetif maka tugas tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
a.       Melaksanakan ketentuan prinsip kehati-hatian (prudential) secara efektif dan sekaligus melaksanakan prinsip keterbukaan (disclosure) yang lebih luas bagi masyarakat tentang kondisi masing-masing bank.
b.      Menyehatkan kegiatan operasional di bidang finansial perbankan melalui program-program penyehatan/restrukturisasi perbankan dan peningkatan fungsi intermediasi.
c.       Memantapkan sistem pengawasan bank, baik pengawasan langsung maupun tidak langsung.
d.      Meningkatkan mutu pengelolaan perbankan, untuk memantapkan ketahanan sistem perbankan.

Dalam rangka lebih memfokuskan pelaksanaan tugas, beberapa tugas Bank Indonesia, melalui Undang-undang No.23/1999, telah dilakukan penyesuaian sebagai berikut :
a.       Larangan pemberian kredit kepada Pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya ekspansi moneter atau penambahan uang beredar yang pada gilirannya dapatmengakibatkan terjadinya inflasi sehingga mengurangi efektifitas pengendalian moneter untuk memelihara kestabilan nilai rupiah
b.      Tugas pemberian kredit likuiditas dalam rangka kredit program dialihtugaskan pengelolaannya kepada:
                                                              i.      Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk Kredit Usaha Tani, Kredit Koperasi dan Kredit Koperasi untuk Anggotanya (KKPA),
                                                            ii.      Bank Tabungan Negara (BTN) untuk Kredit Perumahan Rakyat Sederhana (KPRS) dan KPR-Sangat Sederhana (KPRSS)
                                                          iii.      PT Permodalan Nasional Mandiri untuk KKPA, Kredit Pengusaha Kecil dan Mikro (KPKM), Kredit Kecil, Mikro dan Menengah (KMKM)-Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Kredit untuk Usaha Angkutan.
b.      Pemberian kredit dalam kerangka tugas Bank Indonesia sebagai lenders of the last resort dibatasi hanya untuk keperluan jangka pendek dengan maksimum 90 hari kerja termasuk perpanjangannya serta harus dijamin dengan surat berharga yang berkualitas tinggi dan jaminan minimum 100%.
c.       Penyertaan Bank Indonesia pada perusahaan lain dibatasi hanya pada perusahaan yang menunjang pelaksanaan tugas.
Di beberapa negara yang sistem keuangannya didominasi oleh sektor perbankan, pengawasan bank biasanya dilakukan oleh bank sentral atau suatu lembaga non-bank sentral. Saat ini otoritas pengawas bank yang berada di luar bank sentral di berbagai negara cenderung semakin meningkat. Saat ini secara umum pengawasan bank lebih dominan berada di luar bank sentral di negara-negara yang sistem keuangannya didominasi perbankan. Jadi, apakah pengawasan sektor perbankan di Indonesia akan lebih baik bila dilakukan oleh lembaga non bank sentral?
Pertanyaan seperti itu memang akan selalu muncul, baik karena dilandasi oleh sikap keragu-raguan, skeptis maupun karena faktor kecurigaan. Memang benar, pembentukan OJK bukanlah satu-satunya langkah perbaikan yang akan ditempuh. Namun setidaknya OJK diharapkan mampu berperan sebagai stimulator dan generator bagi percepatan penyempurnaan sistem industri keuangan di republik ini.
Pembentukan OJK, sebagai lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang terintegrasi, tidaklah merupakan suatu pikiran dan tindakan yang unik dan tak lazim. Beberapa negara seperti Inggris, Kanada, Australia, Korea, Jepang, Islandia, dan beberapa negara-negara di Skandinavia telah melangkah lebih dahulu melakukan intregrasi terhadap lembaga-lembaga pengawasan jasa keuangannya.
Memang harus diakui, pembentukan lembaga pengawas yang terintegrasi tersebut tidak semua dilatarbelakangi oleh krisis multidimensi seperti yang terjadi di Indonesia. Namun yang jelas, negara-negara tersebut membentuk sistem seperti itu karena adanya kebutuhan dari berbagai kejadian di sektor keuangan untuk mengoreksi sistem pengawasan yang ada, memperkuat pengelolaan konglomerasi, serta mengantisipasi perkembangan yang semakin dinamis di industri keuangan.
Khusus untuk praktek pengawasan bank di AS, hal itu tidak dapat diperbandingkan dengan praktek yang ada di Indonesia. Hal ini karena sistem pengaturan perbankan di negara tersebut tidak secara independen diatur oleh bank sentral.
Perlu diketahui, di negara adidaya tersebut pengaturan dan pengawasan bank dilakukan secara terpecah-pecah di berbagai otoritas a.l. otoritas pengawasan bank di setiap negara bagian, Office of Controller of Currency, Federal Reserve, dan sebagian diatur oleh Federal Deposit Insurance Corporation.

Financial safety net[8]
Dalam mengantisipasi terjadinya suatu gangguan terhadap sistem keuangan negara, perlu diatur suatu mekanisme memadai yang memungkinkan dilakukan kerja sama antara OJK, BI, Lembaga Penjamin Simpanan {LPS,} dan Depkeu.
Kerja sama di antara institusi-institusi pilar penyangga sektor jasa keuangan tersebut sangat diperlukan dalam kondisi perekonomian Indonesia yang mulai kondusif seperti saat ini.
Hal ini terutama dimaksudkan untuk mengantisipasi penanganan secara lebih terorganisasi dengan pola kebijakan yang lebih terstruktur dan konsisten apa bila terjadi kegagalan pada satu atau sekelompok industri jasa keuangan yang berpotensi menyebabkan guncangan atau gangguan pada sistem jasa keuangan secara keseluruhan.
Mekanisme penyelamatan sektor jasa keuangan melalui forum koordinasi di antara empat pilar penting sektor jasa keuangan tersebut merupakan salah satu upaya implementasi dari konsep Jaring Pengaman Keuangan (finansial safety net ).
Secara garis besar, hubungan antara OJK dan lembaga-lembaga lain dalam financial safety net tercermin sebagai berikut:
a.       OJK melakukan fungsi sebagai pengatur dan pengawas perbankan BI melakukan fungsi sebagai otoritas moneter, fungsi sistem pembayaran, termasuk di dalamnya melakukan fungsi lender of the last resort.
b.      LPS melakukan fungsi penjaminan simpanan nasabah bank
c.       Depkeu melakukan fungsi sebagai otoritas fiskal
Secara umum, dalam mekanisme kerja tersebut OJK akan selalu memberikan informasi yang reliable dan tepat waktu ke Bank Indonesia dan LPS. Bila dianggap di sektor jasa keuangan ada indikasi yang membahayakan, OJK harus segera melaporkannya ke Menkeu.
Berdasar informasi OJK tersebut, menkeu harus mengundang BI, LPS dan OJK untuk membahas langkah-langkah penyelesaian yang diperlukan dalam rangka meminimalisasi bahaya tersebut.
Berdasarkan sejumlah dokumen Depkeu, financial safety net diketahui merupakan organ dinamik yang sangat penting di dalam financial system stability yang pada hakekatnya di mulai dari level makroekonomi yaitu pada cakupan kebijakan makro ( menkeu dan BI) sampai dengan tahap yang lebih operasional yaitu pada tataran mikroekonomi pada kegiatan industri keuangan dan mekanisme pasar (OJK dan LPS).
Jadi, bila konsep financial safety net ini memang sudah menjadi keyakinan setiap pihak bagi terciptanya sebuah industri jasa keuangan yang stabil di Indonesia maka pembentukan OJK maupun LPS hendaknya segera direalisasi.

Sistem Pengawasan Bank Oleh Bank Indonesia[9]
Dalam menjalankan tugas pengawasan bank, saat ini BI melaksanakan sistem pengawasannya dengan menggunakan 2 pendekatan yakni pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision) dan pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision/RBS). Dengan adanya pendekatan RBS tersebut, bukan berarti mengesampingkan pendekatan berdasarkan kepatuhan, namun merupakan upaya untuk menyempurnakan sistem pengawasan sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengawasan perbankan. Secara bertahap, pendekatan pengawasan yang diterapkan oleh BI akan beralih menjadi sepenuhnya pengawasan berdasarkan risiko.
1. Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based Supervision)
Pendekatan pengawasan berdasarkan kepatuhan pada dasarnya menekankan pemantauan kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank. Pendekatan ini mengacu pada kondisi bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian.
2. Pengawasan Berdasarkan Risiko (Risk Based Supervision)
Pendekatan pengawasan berdasarkan risiko merupakan pendekatan pengawasan yang berorientasi ke depan (forward looking). Dengan menggunakan pendekatan tersebut pengawasan/pemeriksaan suatu bank difokuskan pada risiko-risiko yang melekat (inherent risk)pada aktivitas fungsional bank serta sistem pengendalian risiko (risk control system). Melalui pendekatan ini akan lebih memungkinkan otoritas pengawasan bank untuk proaktif dalam melakukan pencegahan terhadap permasalahan yang potensial timbul di bank.

Jenis-Jenis Risiko Bank :
  • Risiko Kredit : Risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya.
  • Risiko Pasar : Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki oleh Bank,yang dapat merugikan Bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar.
  • Risiko Likuiditas : Risiko yang antara lain disebabkan Bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh waktu.
  • Risiko Operasional : Risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal,kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.
  • Risiko Hukum : Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontra.
     
  • Risiko Reputasi : Risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha Bank atau persepsi negatif terhadap Bank.
  • Risiko Strategik : Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi Bank yang tidak tepat pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya Bank terhadap perubahan eksternal.
  • Risiko Kepatuhan : Risiko yang disebabkan Bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku.



BAB III
PENUTUP


Dalam rangka tugas mengatur dan mengawasi perbankan, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan atas bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pelaksanaan tugas ini, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian.
Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain memberikan dan mencabut izin usaha bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Di bidang pengawasan, Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan baik dalam bentuk pemeriksaan secara berkala maupun sewaktu-waktu bila diperlukan. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penelitian, analisis dan evaluasi terhadap laporan yang disampaikan oleh bank.



[1] Andian Sutedi, “Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang Merger”, Likuidai, dan Kepailitan, Jakarta, sinar Grafika,2007, hal 1.
[2] Muhamad Djumhana, “Hukum Perbankan Indonesia (Cetakan Ketiga)” , Bandung: PT Citra Aditya Bakti,2000, hal 276.
[3] Suwidi Tono, dkk, Bank Indonesia Menuju Indenpedensi Bank Sentral, Jakarta: PT Mardi Mulyo, 2000, hal 125.
[4]http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/86CE0C47-626D-49A6-989C-125F12C9F938/18310/01_daftar_isi_dan_kata_pengantar_revnew1.pdf
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Bank_Indonesia
[6] http://zulsitompul.wordpress.com/2011/02/23/pengawasan-bank/
[7] http://www.scribd.com/doc/49285904/Bab-II-Institusi-Bank-Indonesia
[8] http://els.bappenas.go.id/upload/other/Pengaturan%20dan%20pengawasan.htm
[9]http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhtisar+Perbankan/Pengaturan+dan+Pengawasan+Bank/Sistem+Pengawasan+Bank/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar