Kamis, 12 Januari 2012

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI DAN KORBAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang menjadi focus perhatian dalam suatu proses peradilan adalah orang yang melanggar hukum, yaitu tersangka/terdakwa dalam peradilan pidana atau tergugat dalam perkaran perdata. Hal ini berarti tergugat atau tersangka/terdakwa sebagai orang dianggap telah mengganggu nilai-nilai y ang disepakati bersama ini harus berhadapan dengan aparat negara yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan aparat penegak hukum dikatakan memiliki posisi yang lebih kuat daripada si pelanggar hukum.
Kondisi ini yang kemudian menimbulkan kekhawatiran akan adanya kesewenang-wenangan dari aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangan yang dimilikinya. Hal yang tadinya hanya merupakan kekhawatiran ini kemudian terbukti dengan tidak sedikitnya berita tentang praktik-praktik penyiksaan oleh aparat dalam rangka memperoleh pengakuan dari tesangka/terdakwa. Kenyataan tersebut akan menimbulkan simpati pada pihak yang lemah ini dalam bentuk diberikannya seperangkat hak pada tersangka/terdakwa untuk membela dirinya melalui proses hukum yang adil (due process of law).[1]
Kepedulian yang demikian besar kapada tersangka/terdakwa manimbulkan persepsi bahwa seolah-olaj telah mengabaikan pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan pidana, terutama saksi – termasuk saksi korban. Peradilan pidana selama ini lebih mengutamakan perlindungan kepentingan pelaku tindak pidana. Padahal peradilan pidana sebagai institusi yang berwenang menjatuhkan sanksi pidana pada orang yang melanggar hukum pidana sering kali menjadi tolok ukur penilaian terhadap watak penguasa dan atau masyarakatnya.
Negara sebagai wakil public, melalui perdilan pidana mendapat sorotan dalam dua hal. Pertama, bagaimana melaksanakan proses hukum terhadap tersangka/terdakwa pelanggar hukum pidana dan yang kedua, bagaimana memperlakukan tersangka/terdakwa, yang juga merupakan bagian dari anggota masyarakat. Kondisi ini memerlukan kehati-hatian dalam menetapkan kebijakan dan dalam bertindak, agar kepentingan-kepantingan yang harus dilindungi mendapat porsi yang seimbang.
Kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana (selanjutnya disebut SPP) saat ini belum ditempatkan secara adil bahkan cenderung terlupakan. Kondisi ini berimplikasi pada dua hal yang fundamental, yaitu tiadanya perlindungan hukum bagi korban dan tiadanya putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi korban, pelaku maupun masyarakat luas. Tiadanya perlindungan hukum sebagai implikasi atas belum ditempatkannya secara adil korban dalam SPP, dapat ditelaah melalui perangkat peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana melaui hukum materil, hukum formal serta hukum pelaksanaan (pidana). Demikian pula melalui empirik dalam praktik penegakan hukum dalam lembaga sub-sub SPP, korban juga belum tampak memperoleh perlindungan hukum.[2]
Proses peradiklan agama yang mu
aranya berupa putusan hakim di pengadilan sebagaimana terjadi saat ini, tampak cenderung melupakan dan meninggalkan korban. Para pihak terkait antara lain jaksa penuntut umum, penasehat hukum tersangka/terdakwa, saksi(korban) serta hakim dengan didukung alat bukti yang ada, cenderung berpumpung (focus) pada pembuktian atas tuduhan jaksa penuntut umum terhadap tersangka/terdakwa. Proses peradilan lebih berkutat pada prbuatan tersangka/terdakwa memnuhi rumusan pasal hukum pidana yang dilanggar atau tidak. Dalam proses seperti itu tampak hukum acara pidana sebagai landasan beracara dengan tujuan untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) sebagai kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan perlindungan hak asasi manusia ( protection of human right) tidak seluruhnya tercapai.
Saksi dalam peradilan pidana menempati posisi kunci, sebagaimana terlihat dalam penempatanya dalam pasal 184 KUHP. Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana. Harus diakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar bedasarkan informasi dari masyarakat. Bagitu pula dalam proses selanjutnya,  ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas saksimempuya kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkna hukum dan keadilan. Mposisi saksi yang dmeikian penting nampaknya sangat jauh dari perhatian masyarakat maupun penegak hukum. Ternyata sikap ini memang sejalan dengan sikap pembentuk UU, yang tidak secara khusus ememberikan perlindugan hukum kepada saksi dan korban berupa pemberian sejumlah hak, seperti  yang dimiliki oleh tersangka/tersakwa.
Dalam KUHAP, sebagai ketentuan hukum beracara pidana di Indonesia, tersangka/terdakwa memiliki sejumlah hak yang diatur secara tegas dan rinci dalam suatu bab tersendiri. Sebaliknya bagi saksi – termasuk saksi korban, hanya ada beberapa pasal dalam KUHAP yang memberikan hak pada saksi, tetapi pemberiannya pun selalu dikaitkan dengan tersangka/terdakwa. Jadi hak yang dimiliki saksi dimiliki pula oleh tersangka/terdakwa, tetapi banyak hak tersangka/terdakwa yang tidak dimiliki oleh saksi.
Hanya ada satu pasal yang secara normative khusus memberikan hak pada saksi, yaitu pasal 299 KUHAP, namun dalam prakteknya tidak sesuai dengan kenyataan yaitu dimana hak asasi untuk memperoleh penggantian biaya setelah hadir memenuhi panggilan di semua tingkat pemeriksaan ini, tidak dapat dilaksanakan dengan alas an klasik, yaitu ketiadaan dana. Dilihat dari sudut pandang perundang-undangan, kedudukan saksi – termasuk korban-korban dalam posisi yang lemah.[3] Kondisi saksi tidak jauh beda dengan tersangka/terdakwa, mereka sama-sama memerlukan perlindungan, karena :[4]
1.      Bagi saksi (apalagi yang awam hukum), memberikan keterangan bukanlah suatu hal yang mudah.
2.      Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman pidana baginya karena dianggap bersumpah palsu.
3.      Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapat ancaman, terror, intimidasi dari pihak yang dirugikan.
4.      Membrikan keterangan membuang waktu dan biaya.
5.      Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang tersangka/terdakwa.
Meskipun secara teoritis, saksi – terutama saksi korban telah diwakili kepentingannya oleh aparat penegak hukum, namun dalam kenyataannya mereka hanya dijadikan alat hukum untuk mendukung, memperkuat argumentasi untuk memenangkan perkara. Kemenangan aparat penegak hukum, dengan keberhasilannya membuktikan kesalahan terdakwa dan meyakinkan hakim mengenai hal itu, sesungguhnya juga merupakan kemenangan masyarakat (termasukkorban). Disamping itu tidak jarang aparat penegak hukum mengabaikan pihak y ang diwakilinya. Apakah korban merasa puan atas tuntutan jaksa atau putusan hakim, misalnya, merupakan hal-hal yang tidak pernah diperhatikan. Sering kali saksi dan korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan, tetapi saksi dan korban tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan, sehingga sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus diberikan kepada saksi dan korban. Informasi ini penting untuk diketahui saksi dan korban sebagai tanda penghargaan atas kesediaannya saksi dan korban dalam proses pengadilan tersebut. Ketakutan saksi dan korban akan adanya balas demdam dari terdakwa cukup berlasan dan berhak diberi tahu apabila seorang terpidana yang dihukum penjara akan dibebaskan. Bedasarkan hal-hal sebagaimana yang penulis telah uraiakan di atas, maksud penulis melakukan penelitian guna menysun dengan mengambil judul: “PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI DAN KORBAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diidentifikasi permsalahan sebagai berikut :
1.      Apakah pelaksanaan hukum bagi saksi dan korban dalam proses perkara pidana ditinjau dari pasal 229 KUHAP dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban?
2.      Apakah kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan perlndungan hukum bagi saksi dan korban dalam proses pemeriksaan perkara pidana?
3.      Apakah usaha untuk mengatasi kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan perlindungan hukum bagi saksi dan korban dalam proses pemeriksaan perkara pidana?
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah pelaksanaan hukum bagi saksi dan korban dalam proses perkara pidana ditinjau dari pasal 229 KUHAP dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban?
2.      Kendala-kendala apakah yang timbul dalam pelaksanaan perlndungan hukum bagi saksi dan korban dalam proses pemeriksaan perkara pidana?
3.      Bagaimanakah mengatasi kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan perlindungan hukum bagi saksi dan korban dalam proses pemeriksaan perkara pidana?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.      Tujuan Penelitian
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan seb
agai berikut:
a.       Untuk mengetahui pelaksanaan hukum bagi saksi dan korban dalam proses perkara pidana.
b.      Untuk mengetahui kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan perlndungan hukum bagi saksi dan korban dalam proses pemeriksaan perkara pidana.
c.       Untuk mengetahui mengatasi kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan perlindungan hukum bagi saksi dan korban dalam proses pemeriksaan perkara pidana.
2.      Manfaat Penelitian
a.       Kegunaan Teoritis
Manfaat bagi ilmu pengetahuan yaitu, hasil penelitian ini diharapkan dapat member masukan bagi hukum pidana khususnya dalam hal perlindungan saksi dan korban dalam proses perkara pidana.
b.      Kegunaan Praktis
1)      Manfaat bagi penegak hukum, yaitu hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi aparat penegak hukum (pemerintah), praktisi hukum dan masyarakat pada umumnya yaitu pentingnya keterangan saksi dan korban.
2)      Sebagai syarat penulisan hukum untuk penyelesaian studi S1 di Fakultas Hukum Universitas Pamulang.

E. Kerangka Teori
Dalam poroses perkara pidana yang dimulai dengan tahap penyidikan sampai pada tingkat pemeriksaan di muka pengadilan yang dilakukan oleh hakim. Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan yaitu mesyawarah didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di siding yang meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk dan keterangan terdakwa.[5]
Kelancaran keberhasilan suatu proses peradilan, khususnya peradilan pidana, akan tergantung pada alat bukti yang berhasil dimuculkan di pengadilan.
Salah satu alat bukti yang menetukan adalah yang menyangkutu keterangan saksi dan korban. Sebagaimana kita ketahui bersama, banyak kasus yang terjadi belum dapat diselesaikan secara cepat atau tidak dapat terungkap, karena tidak ada atau kurangnya alat bukti yang didapat antara lain dari saksi dan korban.[6]
Perlindungan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan pasal 68 Udang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.[7]
Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan saksi dan korban diatur dengan undang-undang tersendiri. Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri Negara hukum, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum.[8]
Seorang saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas kamanan pribadinya dari ancama fisik maupun psikologis dari orang lain, berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah diberikannya atas suatu tindak pidana. Di samping itu, sejumlah hak diberikan kepada saksi dan korban, antara lain berupa hak untuk memilih dan menetukan bentuk perlindungan dan keamanan, hak untuk mendapatkan nasihat hukum, hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan, hak untuk mendapatkan identitas dan tempat kediaman baru, serta hak untuk memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan.[9]

F. Metode Penelitian
Dalam  suatu penelitian ilmiah perlu menggunakan metode untuk mengumpulakan data sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui pokok pikiran yang ditemukannya yangkemudian disimpulkannya. Melalui prosedur yang sistematis dengan menggunakan cara yang tepat.
Dalam rangka memperoleh data penulis mentukan langkah-langkah sebagai berikut :
1.      Sumber Data
a.       Data primer yaitu data yang diperoleh penulis dari hasil penelitian lapangan (Field research).
b.      Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelitian perpustakaan ( Library research).
2.      Lokasi penelitian
Daerah yang penulis rencanakan untuk mendapatkan data-data secara lengkap dan kongkrit sebagai bahan penyusunan skripsi ini adalah Pengadilan Negeri Tangerang Banten.
3.      Metode Analisa Data
Dalam suatu penelitian dapat dipergunakan analisa data sebagi berikut :
a.       Metode analisa kualitatif
Yaitu untuk mengolah dan menganalisa data-data yang diperoleh dari hasil penelitian pustaka.
b.      Metode analisa diskriptif
Yaitu menggambarkan data-data yang diperoleh dalam penelitian, yang mendukung hipotesa.

G. Sistematika Penulisan
Secara sistematik skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Bab I                   Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II                  Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
Dalam bab ini dijelaskan mengenai Pengertian Hukum Pidana, Pengertian Tindak Pidana dan Pemidanaan.
Bab III                Kedudukan Korban dan Saksi Dalam Sistem Peradilan Pidana
Bab IV                Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Dalam bab ini membahas hasil penelitian yang berisi tentang isi pokok perlindungan hukum bagi saksi dan korban dalam proses perkara pidana dan kendala-kendala pidana yang timbul dalam pelaksanaan perlindungan hukum bagi saksi dan korban dalam proses pemeriksaan perkara pidana dan analis data.
Bab V                  Penutup
                            Dalam bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran.



[1] Harkristuti Harkrisnowo, Urgensi Perlindungan Saksi, Jakarta : FH Universitas Indonesia, 1999, hal 41
[2] Humphrey R. Djemat, Lindungi Saksi Atau Pelapor Korupsi, Sinar Harapan, 3 Maret 2005, hal 2
[3] Ibid., hal 3
[4] Ibid., hal 4
[5] Humphrey R. Djemat, Lindungi saksi atau pelapor korupsi, sinar harapan, 2005
[6] Bambang Waluyo, Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000
[7] Sri Setyawati Dan Hendroyono, Pidana Dan Pemidanaan, Fakultas Hukum UNTAG Semarang 2005
[8] Muladi Dan Barda Namawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1984
[9] Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995

1 komentar: